MALPRAKTIK DALAM DUNIA KESEHATAN


.

BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang Masalah
Mengamati pemberitahuan media massa tentang dugaan kasus malpraktik dan kelalaian medis. Dalam dunia keperawatan atau medis sering terjadi kesalahan medis yang selalu disebut sebagai kasus malpraktik. Hal ini banyak berkembang dikarenakan ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Padahal, kegagalan itu bisa jadi bukan karena kesalahan atau kelalaian dari petugas medis itu sendiri.
Bidang etika keperawatan sudah menjadi tanggung jawab organisasi keprofesian untuk mengembangkan jaminan pelayanan keperawatan yang berkualitas dapat diperoleh oleh tenaga keperawatan yang profesional.
Perkembangan keperawatan di Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat pesat menuju perkembangan keperawatan sebagai profesi. Proses ini merupakan suatu perubahan yang sangat mendasar dan konsepsional, yang mencakup seluruh aspek keperawatan baik aspek pelayanan atau aspek-aspek pendidikan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kehidupan keprofesian dalam keperawatan.

B.                 Rumusan Masalah
Pada pembahasan kali ini, agar tidak melenceng dari pembahasan, maka kami dari kelompok 1 (Satu) akan membahas :
1.      Definisi malpraktek.
2.      Malpraktek Dibidang Hukum
3.      Pembuktian malpraktek dibidang pelayanan kesehatan
4.      Malpraktek ditinjau dari segi etika dan hokum
5.      Aspek hukum malpraktek
6.      Asumsi masyarakat terhadap malpraktek
7.      Upaya pencegahan malpraktik dalam pelayanan kesehatan
8.      Malpraktek Dalam Perspektif Hukum Islam
9.      Malpraktek menurut hukum di Indonesia

C.                 Tujuan Penulisan
Adapun beberapa tujuan dari penyusunan makalah kami dari kelompok 1 (Satu) pembaca mampu memahami diantaranya :
1.      sebenarnya yang dimaksud malpraktek.
2.      Malpraktek Dibidang Hukum
3.      Pembuktian malpraktek dibidang pelayanan kesehatan
4.      Malpraktek ditinjau dari segi etika dan hokum
5.      Aspek hukum malpraktek
6.      Asumsi masyarakat terhadap malpraktek
7.      Upaya pencegahan malpraktik dalam pelayanan kesehatan
8.      Malpraktek Dalam Perspektif Hukum Islam
9.      Malpraktek menurut hukum di Indonesia

D.                MANFAAT
Membantu dan membimbing mahasiswa dalam proses pembelajaran agar tidak melakukan kasus malpraktek seperti yang dilakukan oleh dokter atau perawat. Selain itu manfaatnya bagi masyarakat agar lebih berhati-hati dalam memberikan pelayanan kesehatan yang lebih maksimal.






BAB II
KAJIAN TEORI

Malpraktek mempakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti salah sedangkan “praktek” mempunyai arti pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktek berarti pelaksanaan atau tindakan yang salah. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan definisi malpraktek profesi kesehatan adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama. Malpraktek juga dapat diartikan sebagai tidak terpenuhinya perwujudan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang baik, yang biasa terjadi dan dilakukan oleh oknum yang tidak mau mematuhi aturan yang ada karena tidak memberlakukan prinsip-prinsip transparansi atau keterbukaan,dalam arti, harus menceritakan secarajelas tentang pelayanan yang diberikan kepada konsumen, baik pelayanan kesehatan maupun pelayanan jasa lainnya yang diberikan.
Dalam memberikan pelayanan wajib bagi pemberi jasa untuk menginformasikan kepada konsumen secara lengkap dan komprehensif semaksimal mungkin. Namun, penyalahartian malpraktek biasanya terjadi karena ketidaksamaan persepsi tentang malpraktek.Guwandi (1994) mendefinisikan malpraktik sebagai kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanah pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang sama.
Ellis dan Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktik merupakan batasan yang spesifik dari kelalaian (negligence) yang ditujukan pada seseorang yang telah terlatih atau berpendidikan yang menunjukkan kinerjanya sesuai bidang tugas/pekerjaannya.
Ada dua istilah yang sering dibiearakan secara bersamaan dalam kaitannya dengan malpraktik yaitu kelalaian dan malpratik itu sendiri. Kelalaian adalah melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan/hukum guna, melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yaag tidak beralasan dan berisiko melakukan kesalahan (Keeton, 1984 dalam Leahy dan Kizilay, 1998).
Malpraktik sangat spesifik dan terkait dengan status profesional dan pemberi pelayanan dan standar pelayanan profesional. Malpraktik adalah kegagalan seorang profesional (misalnya, dokter dan perawat) untuk melakukan praktik sesuai dengan standar profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena memiliki keterampilan dan pendidikan (Vestal, K.W, 1995).
Dalam suatu kasus di California tahun 1956 Gumawadi (1994) mendifinisikan malpraktik adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka dilingkungan wilayah yang sama.
Malpraktek adalah kelalaian dari seorang dokter/perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya didalam memberikan pelayanan pengobatan/perawatan terhadap seorang pasien, yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit/terluka dilingkungan wilayah yang sama. (Yulianus, Malpraktek 2003)
Malpraktik lebih luas daripada negligence karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (criminal malpractice) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat adanya motif (guilty mind) sehingga tuntutannya dapat bersifat perdata atau pidana. Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan malpraktik adalah :
1.      Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan.
2.      Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajibannya. (negligence); dan
3.      Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.











BAB III
PEMBAHASAN

A.                Definisi Malpraktek
Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.[1]
Dalam kamus bahasa medis Malpraktik adalah prilaku atau praktek medis (Kedokteran/Keperawatan) yang dilakukan dengan salah (keliru) dan melanggar keetisan dan undang-undang, yang mana dalam menjalankan profesionalnya itu menimbulkan cedera pada pasien atau kerugian  fatal lainya. ( M. Dachlan. Y Al-Barry, Yustina Akmalia, S.Kp, A. Rahman Usman ; Kamus Istilah Medis)[2]
Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de
Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956). Pengertian malpraktik medik menurut WMA (World Medical Associations) adalah Involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient (adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien).
Ada dua istilah yang sering dibiearakan secara bersamaan dalam kaitannya dengan malpraktik yaitu kelalaian dan malpratik itu sendiri. Kelalaian adalah melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan/hukum guna, melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yaag tidak beralasan dan berisiko melakukan kesalahan (Keeton, 1984 dalam Leahy dan Kizilay, 1998).
Malpraktik sangat spesifik dan terkait dengan status profesional dan pemberi pelayanan dan standar pelayanan profesional. Malpraktik adalah kegagalan seorang profesional (misalnya, dokter dan perawat) untuk melakukan praktik sesuai dengan standar profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena memiliki keterampilan dan pendidikan (Vestal, K.W, 1995).
Dalam suatu kasus di California tahun 1956 Gumawadi (1994) mendifinisikan malpraktik adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka dilingkungan wilayah yang sama.
Malpraktek adalah kelalaian dari seorang dokter/perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya didalam memberikan pelayanan pengobatan/perawatan terhadap seorang pasien, yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit/terluka dilingkungan wilayah yang sama. (Yulianus, Malpraktek 2003)

B.                 Malpraktek Dibidang Hukum
Untuk Malpraktik Hukum Atau Yuridical Malpractice Dibagi Dalam 3 Kategori Sesuai Bidang Hukum Yang Dilanggar, Yakni Criminal Malpractice, Civil Malpractice Dan Administrative Malpractice.
1.      Criminal Malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a.       Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
b.      Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
a)      Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 kuhp), membuka rahasia jabatan (pasal 332 kuhp), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 kuhp), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 kuhp).
b)      Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
c)      Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2.      Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
a.       Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b.      Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c.       Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d.      Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability.dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
3.      Administrative Malpractice
Dokter dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (surat ijin kerja, surat ijin praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hokum administrasi.

C.                 Pembuktian malpraktek dibidang pelayanan kesehatan
Dalam  kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1.      Cara langsung oleh taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 d yakni :
a.       Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan:
a)      Adanya indikasi medis
b)      Bertindak secara hati-hati dan teliti
c)      Bekerja sesuai standar profesi
d)     Sudah ada informed consent.
b.      Dereliction of duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat dipersalahkan. 
c.       Direct cause (penyebab langsung)
d.      Damage (kerugian)
Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2.      Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a.       Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
b.      Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c.       Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.

Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1.      Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati.
Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2.      Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian perawat sebagai karyawannya.
3.      Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hokum (onrechtmatige daad).
Perbuatan melawan hukum tidak terbatas haya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain ( hogeraad 31 januari 1919 ).

D.                Malpraktek ditinjau dari segi etika dan hokum
Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa uu praktik kedokteran itu akan juga mengatur masalah malpraktek medik. Namun, materinya ternyata hanya mengatur masalah disiplin, bersifat intern.
Walaupun setiap orang dapat mengajukan ke majelis disiplin kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke kuhp (kitab undang-undang hukum pidana) bila terjadi tindak pidana. Namun, kalau sampai diajukan ke pengadilan tetap terkatung-katung tidak ada kunjung penyelesaiannya, lantas apa gunanya?
Di negara yang menganut sistem hukum anglo-saxon, masalah dugaan malpraktik medik ini sudah ada ketentuan di dalam common law dan menjadi yurisprudensi. Walaupun indonesia berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi.
Dan karena masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, dpr yang baru harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk undang-undang (UU) tentang malpraktik medik, sebagai pelengkap UU praktik kedokteran.
Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu.
1.      Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk.
2.      Franz magnis suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter singer, filusf kontemporer dari australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.
3.      Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
4.      Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.
5.      Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu.

Malpraktek meliputi pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja (intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “de minimis noncurat lex”, hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele (hukumonliine.com, 17 april 2004).
Ketidaktercantuman istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum positif di indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di indonesia masih dipertanyakan, semuanya merupakan pe-er besar bagi pemerintah. Barangkali inovasi cerdas pemerintah guna menangani kasus malpraktek dan sengketa medik adalah lahirnya ruu praktik kedokteran. Akan tetapi, benarkah demikian? Dalam beberapa pasal, ruu praktik kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan bagi pasien.
Secara substansial, ruu yang terdiri dari 182 pasal ini memuat pasal-pasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya digunakan dalam peradilan. RUU praktek kedokteran memungkinkan sebuah sistem untuk meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga probabilitas terjadinya malpratek dapat dieliminasi seminimal mungkin. Dengan dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi tenaga medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi.

E.                 Aspek hukum malpraktek
Hukum itu mempunyai 3 pengertian, sebagai sarana mencapai keadilan, yang kedua sebagai pengaturan dari penguasa yang mengatur perbuatan apa yang boleh dilakukan, dilarang, siapa yang melakukan dan sanksi apa yang akan dijatuhkan (hukum objektif). Dan yang ketiga hukum itu juga merupakan hak.oleh karenanya penegakan hukum bukan hanya untuk medapatkan keadilan tapi juga hak bagi masyarakat (korban).
Sehubungan dengan hal ini, adami chazawi juga menilai tidak semua malpraktik medik masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3 syarat yang harus terpenuhi, yaitu
1.      Sikap bathin dokter (dalam hal ini ada kesengajaan/dolus atau culpa).
2.      Syarat dalam perlakuan medis yang meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari standar tenaga medis, standar prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab antara lain tanpa str atau sip, tidak sesuai kebutuhan medis pasien.
3.      Syarat akibat, yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-luka (Pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi unsure tindak pidana.

Selama ini dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan malpraktik medik sangat terbatas. Untuk malpraktek medik yang dilakukan dengan sikap bathin culpa hanya 2 pasal yang biasa diterapkan yaitu pasal 359 (jika mengakibatkan kematian korban) dan pasal 360 (jika korban luka berat).
Pada tindak pidana aborsi criminalis (pasal 347 dan 348 kuhp). Hampir tidak pernah jaksa menerapkan pasal penganiyaan (pasal 351-355 kuhp) untuk malpraktik medik.
Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsure sifat melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak. Secara umum sifat melawan hukum malpraktik medik terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi.
Dari sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh suatu ikatan atau hubungan inspanings verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha untuk melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam dunia kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan kepatutan.perlakuan yang tidak benar akan menjadikan suatu pelanggaran kewajinban (wan prestasi).
Ada perbedaan akibat kerugian oleh malpraktik perdata dengan malpraktik pidana. Kerugian dalam malpraktik perdata lebih luas dari akibat malpraktik pidana. Akibat malpraktik perdata termasuk perbuatan melawan hukum terdiri atas kerugian materil dan idiil, bentuk kerugian ini tidak dicantumkan secara khusus dalam uu. Berbeda dengan akibat malpraktik pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai dengan akibat yang menjadi unsure pasal tersebut.
Malpraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materil (yang melarang akibat yang timbul,dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana). Dalam hubungannya dengan malpraktik medik pidana, kematian,luka berat, rasa sakit atau luka yang mendatangkan penyakit atau yang menghambat tugas dan matapencaharian merupakan unsure tindak pidana.
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran maka ia hanya telah melakukan malpraktik etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian maka penggugat harus dapat membuktikan adanya suatu kewajibanbagi dokter terhadap pasien, dokter telah melanggar standar pelayananan medik yang lazim dipergunakan, penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Terkadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat. Dalam hukum dikenal istilah res ipsa loquitur (the things speaks for itself), misalnya dalam hal terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalain pada dirinya.

F.                  Asumsi masyarakat terhadap malpraktek
Maraknya malpraktek di indonesia membuat masyarakat tidak percaya lagi pada pelayanan kesehatan di indonesia. Ironisnya lagi, pihak kesehatan pun khawatir kalau para tenaga medis indonesia tidak berani lagi melakukan tindakan medis karena takut berhadapan dengan hukum. Lagi-lagi hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi yang baik antara tenaga medis dan pasien. Tidak jarang seorang tenaga medis tidak memberitahukan sebab dan akibat suatu tindakan medis. Pasien pun enggan berkomunikasi dengan tenaga medis mengenai penyakitnya. Oleh karena itu, departemen kesehatan perlu mengadakan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana kinerja seorang tenaga medis.
Sekarang ini tuntutan professional terhadap profesi ini makin tinggi. Berita yang menyudutkan serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan dibidang medis bermunculan.
Di negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah makpraktek medis ini ternyata tuntutan terhadap tenaga medis yang melakukan ketidaklayakan dalam praktek juga tidak surut. Biasanya yang menjadi sasaran terbesar adalah dokter spesialis bedah (ortopedi, plastic dan syaraf), spesialis anestesi serta spesialis kebidanan dan penyakit kandungan.
Di indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga medis juga berkembang. Pada awal januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang dilakukan oleh para korban dugaan malpraktik medis ke polda metro jaya dengan tuntutan agar polisi dapat mengusut terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malpraktek yang pernah dilaporkan masyarakat.
Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat sangat sedikit jumlah kasus malpraktik medik yang diselesaikan di pengadilan. Apakah secara hukum perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal media massa nasional juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan malpraktik medik yang dilakukan dokter tapi sering tidak berujung pada peyelesaian melalui sistem peradilan.
Salah satu dampak adanya malpraktek pada zaman sekarang ini (globalisasi)
saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk-produk asing maupun tenaga kerja asing ke indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring mesuknya jaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang canggih.
Hal ini memberikan peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien. Akan tetapi, banyak juga kerugian yang ditimbulkan. Masuknya peralatan canggih tersebut memerlukan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya serta memperbaikinya kalau rusak. Yang menjadi sorotan disini adalah dalam hal pengoperasiannya.
Coba kita analogikan terlebih dahulu, dengan masuknya peralatan-peralatan canggih tersebut, maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Namun, yang terjadi saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan kesalahan dalam pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan malpraktek. Jelas sekali bahwa ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan kesehatan. Untuk menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malpraktek, perlu adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai masalah ini.
Kemudian, perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi. Satu hal yang lebih penting lagi adalah perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar dan belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan peralatan canggih ini demi mencegah terjadinya malpraktek. Hal ini dapat direalisasikan dengan adanya penyuluhan yang disebutkan tadi. Selain pembahasan dari sisi peralatan tadi, juga perlu dipikirkan masalah eksistensi dokter indonesia dalam menghadapi globalisasi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, di jaman globalisasi ini memberikan pintu terbuka bagi tenaga kesehatan asing untuk masuk ke indonesia, begitu pula tenaga kesehatan indonesia dapat bekerja diluar negeri dengan mudah. Namun, apabila tidak ada tindakan untuk mempersiapkan hal ini, dapat menimbulkan kerugian bagi tenaga kesehatan kita. Bayangkan saja, tidak menutup kemungkinan apabila seorang tenaga medis yang kurang mempersiapkan dirinya untuk berkiprah di negeri orang, dikarenakan ilmunya yang masih minim serta perbedaan kurikulum di negeri yang ia tempati, terjadilah malpraktek.
Hal ini tidak saja mencoreng nama baik tenaga edis tersebut tersebut, tetapi juga nama baik dunia kesehatan indonesia. Yang jelas, kami sangat berharap akan peran dari pemerintah pada umumnya dan peran dari departemen kesehatan pada khususnya untuk mempersiapkan tenaga kesehatan indonesia dalam menghadapi era globalisasi saat ini.

G.                Upaya pencegahan malpraktik dalam pelayanan kesehatan
1.      Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a.       Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b.      Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c.       Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d.      Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e.       Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f.       Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
2.      Upaya menghadapi tuntutan hokum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan dapat melakukan :
a.       Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b.      Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.

Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga kebidanan.
Di indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:
1.      Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2.      Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.
3.      Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
4.      Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
5.      Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang bidan/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
6.      Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).

H.                Malpraktek Dalam Perspektif Hukum Islam
Kasus dugaan Malpraktek merupakan akibat yang timbul dalam sengketa antara dokter dengan pasien/sengketa medik, yang mana pasien melakukan tuntutan/ gugatan kepada dokter yang mengobatinya karena merasa dirugikan. Kerugian yang dialami pasien berupa cidera atau cacat permanen bahkan kematian, hal tersebut diduga sebagai akibat tindakan dokter dan atau rumah sakit yang telah berlaku lalai. Kerugian yang diderita pasien disebabkan oleh adanya kelalaian/kesalahan dari dokter yang sering disebut dengan Malpraktek Medik.[3]
Sebagai salah satu contoh, yaitu akibat kesalahahan yang dilakukan oleh dokter di Rumah Sakit Ciremai di Cirebon, yang menyebabkan Ny. Muzayanah meninggal dunia. Hal ini disebabkan karena dokter salah dalam melakukan transfusi darah. Sehingga kasus ini dikategorikan ke dalam kasus Malpraktek.[4]
Dari contoh kasus di atas, yang diduga sebagai Malpraktek. Di sini kami dari Kelompok 1 (Satu) perlu untuk memberikan definisi tentang Malpraktek dari berbagai sudut pandang.
Mengenai Malpraktek, terdapat berbagai batasan yang dapat ditelusuri. Secara leksikal, Malpraktek merupakan frase dari dua kata yaitu “Mala” dan “Praktek”. Mala dapat berarti:
1.      Kotor, cemar, noda, penyakit.
2.      Tanda larangan yang mempunyai kekuatan magis (di Timor).
3.      Buruk, tidak normal. Contoh: Malapraktek (praktek yag buruk), Malagizi (gizi yang tidak baik).[5]
Sedangkan kata praktek mempunyai arti, yaitu:
1.      Pelaksanaan secara nyata apa yang disebutkan dalam teori.
2.      Pelaksanaan pekerjaan.
3.      Perbuatan melakukan teori. 
Agar diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai batasan Malpraktek Medik menurut Black, maka akan diuraikan unsur-unsur yang ada pada istilah terminologi tersebut. Malpraktek secara harfiah berarti “bad practice”, praktek yang jelek atau praktek buruk. Hal ini berkaitan dengan bagaimana praktek pelaksanaan ilmu dan teknologi medik itu. Singkatnya mengenai praktek penerapan ilmu dan teknologi kedokteran, praktek profesi medik dan profesi tersebut mengandung ciri-ciri khusus.
Bila hal ini dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka ketentuan pasal 50 ayat (1) menyebutkan bahwa tenaga kesehatan menyelenggarakan/melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Ketentuan pasal 50 ayat (1) dikaitkan dengan pasal 56 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan pasal 29 ayat (23) UU tentang Praktik Kedokteran serta dikaitkan dengan istilah (terminologi), istilah Malpractice yang secara harfiah diterjemahkan dengan “Bad practice” adalah sarat dengan permasalahan “how to practice the medical science and technology”. Ini sangat erat hubungannya dengan sarana kesehatan yaitu konkretnya melakukan praktek, subyek atau orang yang melaksanakan praktek, dapat juga meliputi instansi medis. Hal tersebut tidak terlepas dari ciri-ciri profesi yang melaksanakan praktek pelaksanaan profesi ilmu dan teknologi medik tersebut. lebih jelasnya menyangkut ijin praktek itu sendiri. Ini berarti ketentuan pasal 50 ayat (1) itu dalam pelaksanaannya tidak mungkin terlepas dari etik profesi medik yang diatur dalam KODEKI dan lafal sumpah dokter yang diatur dalam PP No. 26 Tahun 1960. Demikian permasalahannya mencakup etik dan hukum.
Sedangkan Prof. Hermein Hadiati Koeswadji, S.H., memilih istilah maltreatmen sebagai istilah yang lebih dekat pada pengertian kesalahan/kelalaian dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, karena menurut Prof. Hermein Hadiati Koeswadji, S.H bahwa maltreatment secara harfiah diterjemahkan dengan “bad treatment “, atau “wrong or skillfull treatment”. Dalam hal ini ada 2 (dua) pihak, yaitu di satu pihak subyek yang melaksanakan “treatment” dan di lain pihak obyek/subyek yang menjadi sasaran “treatment”. Sehingga permasalahannya menjadi “how to treat the patient” yaitu bagaimana dokter memperlakukan (dalam arti mengupayakan kesembuhan) pasiennya.
Mr. L.D Vorstman yang merumuskan Malpraktek Medik atas pendapat Prof. Hector Treub dan juga atas perumusan Komisi Aanprakelijkheid dari KNMG (IDI-nya Belanda), yaitu: “Seorang dokter melakukan kesalahan profesi jika ia tidak melakukan pemeriksaan, tidak mendiagnosa, tidak melakukan sesuatu atau tidak membiarkan sesuatu yang oleh dokter yang baik pada umumnya dan dengan situasi kondisi yang sama, akan melakukan pemeriksaan dan diagnosa serta melakukan atau membiarkan sesuatu tersebut.”
Para dokter dianggap melakukan suatu kesalahan profesi (Malpraktek, beroesfout) apabila dalam menjalankan profesinya tidak memenuhi Standar Profesi Kedokteran, hal ini disebut juga “Kuntfout”.
Sedangkan Standar Profesi Kedokteran menurut rumusan Leenen adalah sebagai berikut:
1.      Berbuat secara teliti/seksama (Zorvuildig handelen) dikaitkan dengan culpa/kelalaian. Bila seorang dokter yang bertindak “onvoorzichteh,” tidak teliti, tidak berhati-hati, maka ia memenuhi unsur kelalaian; bila ia sangat tidak hati-hati ia memenuhi culpa lata.
2.      Sesuai ukuran ilmu medik (volgens de medische standaard).
3.      Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medik yang sama (gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie).
4.      Situasi dan kondisi yang sama (gelijke omstandigheden).
5.      Sarana upaya (middelen) yang sebanding/proporsional (azas proporsionalitas). (met middelen die in redelijke verhouding staan) dengan tujuan konkret tindakan/perbuatan tersebut (tot het concreet handelingsdoel). Di Belanda apabila ada dugaan Malpraktek yang dilakukan oleh dokter maka kelima unsur dari standar ini harus dipakai untuk menguji apakah suatu perbuatan medik merupakan Malpraktek atau tidak, hal tersebut juga dilakukan oleh Hakim di Indonesia dalam menangani kasus dugaan Malpraktek selama ini.
Dalam Hukum kedokteran dikenal adanya 4 (empat) unsur Malpraktek medik, yaitu:
1.      Adanya duty (kewajiban) yang harus dilaksanakan;
2.      Adanya dereliction of that duty (penyimpangan kewajiban);
3.      Terjadinya damage (kerugian);
4.      Terbuktinya direct causal relationship (berkaitan langsung) antara pelanggaran kewajiban dengan kerugian.
Apabila ada dugaan Malpraktek maka harus dapat dibuktikan adanya keempat unsur di atas yang dilakukan dokter dalam menangani pasien. Dalam pembuktian itu dipakai lima unsur standar profesi kedokteran yang dirumuskan Leenen.
Dari beberapa pengertian Malpraktek di atas, bahwa kerugian yang dialami seorang pasien baik berupa cacat tubuh atau bahkan kematian adalah diakibatkan oleh perbuatan seorang dokter yang mengandung unsur kesalahan/kelalaian dengan dibuktikan oleh keempat unsur sebagaimana dijelaskan di atas.
Dalam Hukum Islam (fiqh) perbuatan yang mengakibatkan kepada kematian atau cacat tubuh/pelukaan terhadap anggota tubuh, akan tetapi perbuatan tersebut karena faktor kesalahan atau ketidak sengajaan pelakunya, dalam Hukum Pidana Islam (fiqh jinayat) adalah termasuk ke dalam Jinayah Khoto’, yaitu Qotl al-Koto’ (pembunuhan karena kesalahan) dan pelukaan karena kesalahan. Dengan demikian dampak hukum kedua jarimah ini adalah berupa Diyat dan Kafarat
Dalam hukum Pidana Islam, yang termasuk dalam Jarimah Diyat dan Kafarat adalah:
1.      Pembunuhan dengan sengaja yang mendapatkan pemaafan dari keluarga korban,
2.      Pembunuhan semi sengaja,
3.      Pembunuhan karena kesalahan.
4.      Menyebabkan orang luka karena kelapaan (kesalahan).[6]
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan karen kesalahan antara lain Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 92 dan 93:
$tBur šc%x. ?`ÏB÷sßJÏ9 br& Ÿ@çFø)tƒ $·ZÏB÷sãB žwÎ) $\«sÜyz 4 `tBur Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ㍃̍óstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB ×ptƒÏŠur îpyJ¯=|¡B #n<Î) ÿ¾Ï&Î#÷dr& HwÎ) br& (#qè%£¢Átƒ 4 bÎ*sù šc%x. `ÏB BQöqs% 5irßtã öNä3©9 uqèdur ÑÆÏB÷sãB ㍃̍óstGsù 7pt6s%u 7poYÏB÷sB ( bÎ)ur šc%Ÿ2 `ÏB ¤Qöqs% öNà6oY÷t/ OßgoY÷t/ur ×,»sVÏiB ×ptƒÏsù îpyJ¯=|¡B #n<Î) ¾Ï&Î#÷dr& ㍃̍øtrBur 7pt6s%u 7poYÏB÷sB ( `yJsù öN©9 ôÉftƒ ãP$uÅÁsù Èûøïtôgx© Èû÷üyèÎ/$tFtFãB Zpt/öqs? z`ÏiB «!$# 3 šc%x.ur ª!$# $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ6ym ÇÒËÈ   `tBur ö@çFø)tƒ $YYÏB÷sãB #YÏdJyètGB ¼çnät!#tyfsù ÞO¨Yygy_ #V$Î#»yz $pkŽÏù |=ÅÒxîur ª!$# Ïmøn=tã ¼çmuZyès9ur £tãr&ur ¼çms9 $¹/#xtã $VJŠÏàtã ÇÒÌÈ  
Artinya : 92. dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)[334], dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat[335] yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah[336]. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya[337], Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
93. dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. [334] Seperti: menembak burung terkena seorang mukmin. [335] Diat ialah pembayaran sejumlah harta karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan. [336] Bersedekah di sini Maksudnya: membebaskan si pembunuh dari pembayaran diat. [337] Maksudnya: tidak mempunyai hamba; tidak memperoleh hamba sahaya yang beriman atau tidak mampu membelinya untuk dimerdekakan. menurut sebagian ahli tafsir, puasa dua bulan berturut-turut itu adalah sebagai ganti dari pembayaran diat dan memerdekakan hamba sahaya.[7]
Dalam jarimah pembunuhan karena kesalahan terdapat unsur-unsur yang dapat membedakan dengan jarimah yang lainnya. Unsur-unsur tersebut yaitu:
1.      Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian.
2.      Terjadinya perbuatan itu karena kesalahan, dan
3.      Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dan kematian korban.[8]
Azas legalitas pada pembunuhan tidak sengaja yaitu surat an-Nisa ayat 92 dan Hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud yang berbunyi:
فِى دِيَةِ الْخَطَاءِ عِشْرُوْنَ حِقَّةً وَعِشْرُوْنَ جَذَعَةً وَعِشْرُوْنَ بِنْتَ مَخَاضٍ وَعِشْرُوْنَ بِنْتَ لَبُوْنِ وَعِشْرُوْنَ بَنُوْ مَخَاضٍ ( رواه الترميذى)
Artinya: “Rasulullah saw. bersabda: ‘Pada diyat pembunuhan karena kekeliruan adalah dua puluh unta hiqqoh, dua puluh unta Jadza’ah, dua puluh unta binti makhadl, dua puluh unta binti labun dan dua puluh unta banu makhadl”. (H.R. Tirmidzi).[9]
Berdasarkan ayat dan hadits Nabi di atas maka sanksi pokok pembunuhan karena tersalah adalah diyat dan kafarat. Sedangkan hukuman penggantinya adalah puasa dan ta’zir, dan hukuman tambahannya adalah hilangnya hak waris dan hak mendapat wasiat.
I.                   Malpraktek menurut hukum di Indonesia
Menurut UU RI No. 23 Tahun 1992[10]
Pasal 15
1.      Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
2.      Tindakan medis tertentu, sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan:
a.       Berdasarkan indikasi medis yangmengharuskan diambilnya tindakan tersebut.
b.      Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli.
c.       Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya.
d.      Pada sarana kesehatan tertentu.
Pasal 32
4.      Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Pasal 34
1.      Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.
Pasal 35
1.      Transfusi darah hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Pasal 36
1.      Implan obat dan atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.
Pasal 37
1.      Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.
Pasal 53
                  1.            Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
                  2.            Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
Pasal 70
1.      Dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan dapat dilakukan bedah mayat untuk penyelidikan sebab penyakit dan atau sebab kematian serta pendidikan tenaga kesehatan.
2.      Bedah mayat hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Menurut UU RI No. 29 Tahun 2004
Pasal 29
1.      Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.
Pasal 36
Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik.
Pasal 41
1.      Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 wajib memasang papan nama praktik kedokteran.
Pasal 45
1.      Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
Pasal 46
1.      Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis.
Pasal 48
1.      Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran.
Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak:
a.       Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.
b.      Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional.
c.       Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.
d.      Menerima imbalan jasa.
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban:
a.       Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
b.      Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.
c.       Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
d.      Melakukan pertolongan darurat atau dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
e.       Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
Pasal 52
Pasien dalammenerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a.       Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat 3.
b.      Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain.
c.       Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhanmedis.
d.      Menolak tindakan medis.
e.       Mendapatkan isi rekammedis.
Pasal 53
Pasien dalammenerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban:
a.       Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya.
b.      Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi.
c.       Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan.
d.      Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

SANKSI PIDANA
KUHP 359
Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
KUHP 360
1.      Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selam-lamanya satu tahun.
2.      Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selamalamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.4500,-
KUHP 361
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah dengan sepertiganya dan sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam waktu mana kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu diumumkan.
UU RI No. 23 Tahun 1992
Pasal 80
1.      Barangsiapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 1 dan ayat 2, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
Pasal 81
1.      Barangsiapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja:
a.       Melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat 1.
b.      Melakukan implan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat 1.
c.       Melakukan bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat 1. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp.140.000.000,- (seratus empat puluh juta rupiah).
Pasal 82
1.      Barangsiapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja:
a.       Melakukan pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 4.
b.      Melakukan transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat 1.
c.       Melakukan implan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat 1.
d.      Melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat 1.
e.       Melakukan bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat 2. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).
UU RI No. 29 Tahun 2004
Pasal 75
1.      Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:
a.       Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat 1.
b.      Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat 1.
c.       Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.

SANKSI PERDATA
KUH Perdata 1366
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.
KUH Perdata 1367
Mengatur tentang kewajiban pemimpin atau majikan untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh kelalaian yang dilakukan oleh anak buah atau
bawahannya.
KUH Perdata 1370
Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain) dengan sengaja atau kurang hati-hatinya seseorang, maka suami dan istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua korban yang biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban, mempunyai hak untuk menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukannya dan kekayaan kedua belah pihak serta menurut keadaan.
KUH Perdata 1371
Penyebab luka atau cacatnya suatu anggota badan dengan sengaja atau kurang hati-hati, memberikan hak kepada korban, selain penggantian biaya-biaya penyembuhan, juga menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut.

UU RI No. 23 Tahun 1992
Pasal 55
1.      Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
2.      Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 80 (lihat sanksi pidana)
Pasal 81 (lihat sanksi pidana)
Pasal 82 (lihat sanksi pidana)

UU RI No.29 Tahun 2004
Pasal 75 (lihat sanksi pidana)
Pasal 76 (lihat sanksi pidana)
Pasal 79 (lihat sanksi pidana)

SANKSI ADMINISTRATIP
UU RI No. 29 Tahun 2004
Pasal 66
1.      Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
2.      Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:
a.       Identitas pengadu
b.      Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan.
c.       Alasan pengaduan.
3.      Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
Pasal 67
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi.
Pasal 69
1.      Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia.
2.      Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin.
3.      Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dapat berupa:
a.       Pemberian peringatan tertulis.
b.      Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik.
c.       Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

PERMENKES RI No.1419/MENKES/PER/X/2005
Pasal 24
1.      Menteri, Konsil Kedokteran Indonesia, Pemerintah Daerah, dan organisasi profesi melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan peraturan ini sesuai dengan fungsi, tugas dan wewenang masing-masing.
2.      Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diarahkan pada pemerataan dan peningkatan mutu pelayanan yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi.
Pasal 25
1.      Dalam rangka pembinaan dan pengawasan Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dapat mengambil tindakan administratip terhadap pelanggaran peraturan ini.
2.      Sanksi administratip sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat berupa peringatan lisan, tertulis sampai pencabutan SIP.
3.      Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dalam memberikan sanksi administratip sebagaimana dimaksud ayat 2 terlebih dahulu dapat mendengar pertimbangan organisasi profesi.
Pasal 26
Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dapat mencabut SIP dokter dan dokter gigi:
1.      Atas dasar keputusan MKDKI
2.      STR dokter atau dokter dicabut oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
3.      Melakukan tindak pidana.
Pasal 27
1.      Pencabutan SIP yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota wajib disampaikan kepada dokter dan dokter gigi yang bersangkutan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal keputusan ditetapkan.
2.      Dalam hal keputusan dimaksud pada ayat 1 tidak dapat diterima, yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi untuk diteruskan kepada Menteri Kesehatan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah keputusan diterima.
3.      Menteri setelah menerima keputusan sebagaimana dimaksud ayat 2 meneruskan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari.
Pasal 28
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota melaporkan setiap pencabutan SIP dokter dan dokter gigi kepada Menteri Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia dan Dinas Kesehatan Provinsi, serta tembusannya disampaikan kepada organisasi profesi setempat.













BAB IV
PENUTUP
A.                Kesimpulan
Dari uraian diatas mengenai Malpraktek merupakan gambarang awal tentang dasar-daras resiko yang harus dihindari oleh petugas kesehatan, dalam pembahasan kami dari kelompok I (satu) dimana malpraktek atau malpraktic terjadi kerena kesalahan standar prosedur operasional sehingga pasien atau klien disini mengalami kerugian yang membuatnya terluka, bahkan meninggal dunia.
Kami dari kelompok 1 (satu), menyimpulkan bahwasanya untuk meminimalisir terjadinya malpraktik dikemudian hari bagi pembaca kita seharusnya melai sekarang untuk belajar lebih tekun dan memahami dengan saksama prosedur dan mata ajar yang diberikan dibanku kuliah, selain itu kita harus mempu membedakan antara wewenang kita. dan mana tugas kita, terkhusus dalam keperawatan.

B.                 Saran
Kami dari kelompok 1 (satu) menyadari bahwasanya dalam pembahasan kami ini belum mencangkup keseluruhan materi, muda-mudahan materi kami ini mampu memberikan gambaran pemahaman mengenai malpraktek, dan kiranya pembaca terkhusus dibidang kesehatan mampu meminimalisir terjadinya malpraktek.
Terimakasih.
                                                                                            




DAFTAR PUSTAKA

http://Wikipedia.malpaktik.com ( Diakses pada 19 Oktober 2013. Jam 08.00 PM )
M. Dachlan. Y Al-Barry, Yustina Akmalia, S.Kp, A. Rahman Usman ; Kamus Istilah Medis, 2000.
Safitri Hariyani, Sengketa Medik, (Jakarta: Diadit Media, 2004), hlm. 58
Jazuli, Asep Saefuddin, “Duka Akibat Malpraktik”, Blakasauta, 2004, (Edisi 05): hlm. 04
DepDikBud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), Edisi Kedua, hlm. 620
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Gema Insani., 2003), hlm. 34
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahn, (Jakarta, CV.Indah Press, 2002), hlm. 135
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Gema Insani., 2003), hlm. 37
Ahmad Hanafi, Loc. Cit, hlm. 66
Jurnal kesehatan. teori sebab akibat dan aplikasinya pada bidang kajian agama & kesehatan. selamat riyadi. 2012
PPT : malpraktek medic oleh sudjari solichin bagian / instalasi ilmu kedokteran forensic dan medikolegal fk. unair – rsu.dr.soetomo Surabaya
http://menkes.peraturan-malpraktek-0782t32238672.com  ( Diakses pada 19 Oktober 2013. Jam 08.00 PM )





[2] M. Dachlan. Y Al-Barry, Yustina Akmalia, S.Kp, A. Rahman Usman ; Kamus Istilah Medis, 2000.
[3] Safitri Hariyani, Sengketa Medik, (Jakarta: Diadit Media, 2004), hlm. 58
[4] Jazuli, Asep Saefuddin, “Duka Akibat Malpraktik”, Blakasauta, 2004, (Edisi 05): hlm. 04
[5] DepDikBud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), Edisi Kedua, hlm. 620
[6] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Gema Insani., 2003), hlm. 34
[7] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahn, (Jakarta, CV.Indah Press, 2002), hlm. 135
[8] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Gema Insani., 2003), hlm. 37
[9] Ahmad Hanafi, Loc. Cit, hlm. 66

Your Reply