BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Mengamati pemberitahuan media massa tentang
dugaan kasus malpraktik dan kelalaian medis. Dalam dunia keperawatan atau medis
sering terjadi kesalahan medis yang selalu disebut sebagai kasus malpraktik.
Hal ini banyak berkembang dikarenakan ketidakpuasan masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan. Padahal, kegagalan itu bisa jadi bukan karena kesalahan
atau kelalaian dari petugas medis itu sendiri.
Bidang etika keperawatan sudah menjadi
tanggung jawab organisasi keprofesian untuk mengembangkan jaminan pelayanan
keperawatan yang berkualitas dapat diperoleh oleh tenaga keperawatan yang
profesional.
Perkembangan keperawatan di Indonesia telah
mengalami perubahan yang sangat pesat menuju perkembangan keperawatan sebagai profesi.
Proses ini merupakan suatu perubahan yang sangat mendasar dan konsepsional,
yang mencakup seluruh aspek keperawatan baik aspek pelayanan atau aspek-aspek
pendidikan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
kehidupan keprofesian dalam keperawatan.
B.
Rumusan Masalah
Pada pembahasan kali ini, agar tidak
melenceng dari pembahasan, maka kami dari kelompok 1 (Satu) akan membahas :
1.
Definisi malpraktek.
2.
Malpraktek Dibidang
Hukum
3.
Pembuktian malpraktek dibidang pelayanan
kesehatan
4.
Malpraktek ditinjau dari segi etika dan
hokum
5.
Aspek hukum malpraktek
6.
Asumsi masyarakat terhadap malpraktek
7.
Upaya pencegahan malpraktik dalam
pelayanan kesehatan
8.
Malpraktek Dalam
Perspektif Hukum Islam
9.
Malpraktek
menurut hukum di Indonesia
C.
Tujuan Penulisan
Adapun beberapa tujuan dari penyusunan
makalah kami dari kelompok 1 (Satu) pembaca mampu memahami diantaranya :
1.
sebenarnya yang dimaksud malpraktek.
2.
Malpraktek Dibidang
Hukum
3.
Pembuktian malpraktek dibidang pelayanan
kesehatan
4.
Malpraktek ditinjau dari segi etika dan
hokum
5.
Aspek hukum malpraktek
6.
Asumsi masyarakat terhadap malpraktek
7.
Upaya pencegahan malpraktik dalam
pelayanan kesehatan
8.
Malpraktek Dalam
Perspektif Hukum Islam
9.
Malpraktek
menurut hukum di Indonesia
D.
MANFAAT
Membantu dan membimbing mahasiswa dalam
proses pembelajaran agar tidak melakukan kasus malpraktek seperti yang
dilakukan oleh dokter atau perawat. Selain itu manfaatnya bagi masyarakat agar
lebih berhati-hati dalam memberikan pelayanan kesehatan yang lebih maksimal.
BAB II
KAJIAN TEORI
Malpraktek
mempakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi
yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti salah sedangkan “praktek”
mempunyai arti pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktek berarti
pelaksanaan atau tindakan yang salah. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi
kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang
salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan
definisi malpraktek profesi kesehatan adalah kelalaian dari seorang dokter atau
perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau
orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama. Malpraktek juga dapat
diartikan sebagai tidak terpenuhinya perwujudan hak-hak masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan yang baik, yang biasa terjadi dan dilakukan oleh oknum
yang tidak mau mematuhi aturan yang ada karena tidak memberlakukan
prinsip-prinsip transparansi atau keterbukaan,dalam arti, harus menceritakan
secarajelas tentang pelayanan yang diberikan kepada konsumen, baik pelayanan
kesehatan maupun pelayanan jasa lainnya yang diberikan.
Dalam
memberikan pelayanan wajib bagi pemberi jasa untuk menginformasikan kepada
konsumen secara lengkap dan komprehensif semaksimal mungkin. Namun,
penyalahartian malpraktek biasanya terjadi karena ketidaksamaan persepsi
tentang malpraktek.Guwandi (1994) mendefinisikan malpraktik sebagai kelalaian
dari seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan
pengetahuannya di dalam memberikan pelayanah pengobatan dan perawatan terhadap
seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit
atau terluka di lingkungan wilayah yang sama.
Ellis
dan Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktik merupakan batasan yang
spesifik dari kelalaian (negligence) yang ditujukan pada seseorang yang telah
terlatih atau berpendidikan yang menunjukkan kinerjanya sesuai bidang
tugas/pekerjaannya.
Ada dua
istilah yang sering dibiearakan secara bersamaan dalam kaitannya dengan
malpraktik yaitu kelalaian dan malpratik itu sendiri. Kelalaian adalah
melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan/hukum guna,
melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yaag tidak beralasan
dan berisiko melakukan kesalahan (Keeton, 1984 dalam Leahy dan Kizilay, 1998).
Malpraktik sangat
spesifik dan terkait dengan status profesional dan pemberi pelayanan dan
standar pelayanan profesional. Malpraktik adalah kegagalan seorang profesional
(misalnya, dokter dan perawat) untuk melakukan praktik sesuai dengan standar
profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena memiliki keterampilan dan
pendidikan (Vestal, K.W, 1995).
Dalam suatu kasus di California tahun 1956
Gumawadi (1994) mendifinisikan malpraktik adalah kelalaian dari seorang dokter
atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam
memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang
lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka
dilingkungan wilayah yang sama.
Malpraktek adalah kelalaian dari seorang
dokter/perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya didalam
memberikan pelayanan pengobatan/perawatan terhadap seorang pasien, yang lazim
diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit/terluka dilingkungan wilayah
yang sama. (Yulianus, Malpraktek 2003)
Malpraktik
lebih luas daripada negligence karena selain mencakup arti kelalaian, istilah
malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja
(criminal malpractice) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti
kesengajaan tersirat adanya motif (guilty mind) sehingga tuntutannya dapat
bersifat perdata atau pidana. Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud
dengan malpraktik adalah :
1.
Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan
oleh seorang tenaga kesehatan.
2.
Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau
melalaikan kewajibannya. (negligence); dan
3.
Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Malpraktek
Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah”
sedangkan “praktik” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga
malpraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.[1]
Dalam kamus bahasa medis Malpraktik adalah
prilaku atau praktek medis (Kedokteran/Keperawatan) yang dilakukan dengan salah
(keliru) dan melanggar keetisan dan undang-undang, yang mana dalam menjalankan
profesionalnya itu menimbulkan cedera pada pasien atau kerugian fatal lainya. ( M. Dachlan. Y Al-Barry,
Yustina Akmalia, S.Kp, A. Rahman Usman ; Kamus Istilah Medis)[2]
Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah
kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat
kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim
dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de
Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos,
California, 1956). Pengertian malpraktik medik menurut WMA (World Medical
Associations) adalah Involves
the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the
patient’s condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the
patient, which is the direct cause of an injury to the patient (adanya kegagalan dokter untuk
menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian,
atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi penyebab langsung terhadap
terjadinya cedera pada pasien).
Ada dua istilah yang sering dibiearakan
secara bersamaan dalam kaitannya dengan malpraktik yaitu kelalaian dan
malpratik itu sendiri. Kelalaian adalah melakukan sesuatu dibawah standar yang
ditetapkan oleh aturan/hukum guna, melindungi orang lain yang bertentangan
dengan tindakan-tindakan yaag tidak beralasan dan berisiko melakukan kesalahan
(Keeton, 1984 dalam Leahy dan Kizilay, 1998).
Malpraktik sangat spesifik dan terkait
dengan status profesional dan pemberi pelayanan dan standar pelayanan
profesional. Malpraktik adalah kegagalan seorang profesional (misalnya, dokter
dan perawat) untuk melakukan praktik sesuai dengan standar profesi yang berlaku
bagi seseorang yang karena memiliki keterampilan dan pendidikan (Vestal, K.W,
1995).
Dalam suatu kasus di California tahun 1956 Gumawadi
(1994) mendifinisikan malpraktik adalah kelalaian dari seorang dokter atau
perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam
memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang
lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka
dilingkungan wilayah yang sama.
Malpraktek adalah kelalaian dari seorang dokter/perawat
untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya didalam memberikan
pelayanan pengobatan/perawatan terhadap seorang pasien, yang lazim diterapkan
dalam mengobati dan merawat orang sakit/terluka dilingkungan wilayah yang sama.
(Yulianus, Malpraktek 2003)
B.
Malpraktek Dibidang
Hukum
Untuk
Malpraktik Hukum Atau Yuridical Malpractice Dibagi Dalam 3 Kategori Sesuai
Bidang Hukum Yang Dilanggar, Yakni Criminal Malpractice, Civil Malpractice Dan
Administrative Malpractice.
1. Criminal Malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori
criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni
:
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act)
merupakan perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea)
yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan
(negligence).
a) Criminal malpractice yang bersifat sengaja
(intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 kuhp), membuka rahasia
jabatan (pasal 332 kuhp), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 kuhp),
melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 kuhp).
b) Criminal malpractice yang bersifat ceroboh
(recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien
informed consent.
c) Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai)
misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien,
ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi.
Pertanggung jawaban
didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan
oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah
sakit/sarana kesehatan.
2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil
malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan
prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga
kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak
seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban
civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula
dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability.dengan prinsip
ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan
yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut
dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
3. Administrative Malpractice
Dokter dikatakan telah melakukan administrative
malpractice manakala tenaga perawatan tersebut telah melanggar hukum
administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah
mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan,
misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya
(surat ijin kerja, surat ijin praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga
perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang
bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hokum administrasi.
C.
Pembuktian malpraktek dibidang pelayanan
kesehatan
Dalam
kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan
dengan dua cara yakni :
1.
Cara langsung oleh taylor membuktikan
adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 d yakni :
a.
Duty (kewajiban)
Dalam hubungan
perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan:
a)
Adanya indikasi medis
b)
Bertindak secara hati-hati dan teliti
c)
Bekerja sesuai standar profesi
d)
Sudah ada informed consent.
b.
Dereliction of duty (penyimpangan dari
kewajiban)
Jika seorang dokter
melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa
yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat
dipersalahkan.
c.
Direct cause (penyebab langsung)
d.
Damage (kerugian)
Dokter untuk dapat
dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal)
dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau
tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil
(outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter. Sebagai adagium
dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan
dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2.
Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang
mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya
sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa
loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a.
Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila
dokter tidak lalai
b.
Fakta itu terjadi memang berada dalam
tanggung jawab dokter
c.
Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi
dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.
Di
dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1.
Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak
dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati.
Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus dilaksanakan
adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider
baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan
kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2.
Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah
tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan
yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan
bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian perawat
sebagai karyawannya.
3.
Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan
melawan hokum (onrechtmatige daad).
Perbuatan melawan hukum tidak terbatas haya perbuatan
yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap
orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau
berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup
terhadap orang lain atau benda orang lain ( hogeraad 31 januari 1919 ).
D.
Malpraktek ditinjau dari segi etika dan hokum
Masalah dugaan malpraktik medik,
akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum
ada yang tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa uu praktik
kedokteran itu akan juga mengatur masalah malpraktek medik. Namun, materinya
ternyata hanya mengatur masalah disiplin, bersifat intern.
Walaupun setiap orang dapat mengajukan
ke majelis disiplin kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi disiplin
saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke kuhp (kitab undang-undang
hukum pidana) bila terjadi tindak pidana. Namun, kalau sampai diajukan ke
pengadilan tetap terkatung-katung tidak ada kunjung penyelesaiannya, lantas apa
gunanya?
Di negara yang menganut sistem hukum
anglo-saxon, masalah dugaan malpraktik medik ini sudah ada ketentuan di dalam
common law dan menjadi yurisprudensi. Walaupun indonesia berdasarkan hukum
tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi.
Dan karena masyarakat semakin sadar
terhadap masalah pelayanan kesehatan, dpr yang baru harus dapat menangkap
kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk undang-undang (UU) tentang
malpraktik medik, sebagai pelengkap UU praktik kedokteran.
Bagaimana materinya, kita bisa belajar
dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan
masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan
hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu
lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.
Etika punya arti yang berbeda-beda jika
dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu.
1.
Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu
atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut
moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia
yang dianggap baik atau buruk.
2.
Franz magnis suseno menyebut etika
sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab
pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ?
Peter singer, filusf kontemporer dari australia menilai kata etika dan
moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya
secara tertukar-tukar.
3.
Bagi sosiolog, etika adalah adat,
kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi
praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti
kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan
amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah
salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan
penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
4.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika
seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan
klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi,
terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap
masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu
berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.
5.
Bagi asosiasi profesi, etika adalah
kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota
asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan
pelayanan profesi itu.
Malpraktek
meliputi pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja
(intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada
ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu
pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau
cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan
prinsip hukum “de minimis noncurat lex”, hukum tidak mencampuri hal-hal yang
dianggap sepele (hukumonliine.com, 17 april 2004).
Ketidaktercantuman
istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum positif di
indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut,
hingga referensi-referensi tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari
luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di indonesia masih dipertanyakan,
semuanya merupakan pe-er besar bagi pemerintah. Barangkali inovasi cerdas
pemerintah guna menangani kasus malpraktek dan sengketa medik adalah lahirnya
ruu praktik kedokteran. Akan tetapi, benarkah demikian? Dalam beberapa pasal,
ruu praktik kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus
perlindungan bagi pasien.
Secara
substansial, ruu yang terdiri dari 182 pasal ini memuat pasal-pasal yang
implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya digunakan dalam
peradilan. RUU praktek kedokteran memungkinkan sebuah sistem untuk meregulasi
pelayanan medis yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga probabilitas
terjadinya malpratek dapat dieliminasi seminimal mungkin. Dengan dicantumkannya
peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi tenaga medis, harapan
perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi.
E.
Aspek hukum malpraktek
Hukum itu mempunyai 3 pengertian,
sebagai sarana mencapai keadilan, yang kedua sebagai pengaturan dari penguasa
yang mengatur perbuatan apa yang boleh dilakukan, dilarang, siapa yang
melakukan dan sanksi apa yang akan dijatuhkan (hukum objektif). Dan yang ketiga
hukum itu juga merupakan hak.oleh karenanya penegakan hukum bukan hanya untuk
medapatkan keadilan tapi juga hak bagi masyarakat (korban).
Sehubungan dengan hal ini, adami chazawi
juga menilai tidak semua malpraktik medik masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3
syarat yang harus terpenuhi, yaitu
1.
Sikap bathin dokter (dalam hal ini ada
kesengajaan/dolus atau culpa).
2.
Syarat dalam perlakuan medis yang
meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari standar tenaga medis, standar
prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab
antara lain tanpa str atau sip, tidak sesuai kebutuhan medis pasien.
3.
Syarat akibat, yang berupa timbulnya
kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-luka (Pasal 90 KUHP) atau kehilangan
nyawa pasien sehingga menjadi unsure tindak pidana.
Selama
ini dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan malpraktik medik
sangat terbatas. Untuk malpraktek medik yang dilakukan dengan sikap bathin
culpa hanya 2 pasal yang biasa diterapkan yaitu pasal 359 (jika mengakibatkan
kematian korban) dan pasal 360 (jika korban luka berat).
Pada
tindak pidana aborsi criminalis (pasal 347 dan 348 kuhp). Hampir tidak pernah
jaksa menerapkan pasal penganiyaan (pasal 351-355 kuhp) untuk malpraktik medik.
Dalam
setiap tindak pidana pasti terdapat unsure sifat melawan hukum baik yang
dicantumkan dengan tegas ataupun tidak. Secara umum sifat melawan hukum
malpraktik medik terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak
teurapetik tadi.
Dari
sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh suatu ikatan
atau hubungan inspanings verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha untuk
melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi, standar
prosedur operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam dunia kedokteran tapi
juga memperhatikan kesusilaan dan kepatutan.perlakuan yang tidak benar akan
menjadikan suatu pelanggaran kewajinban (wan prestasi).
Ada
perbedaan akibat kerugian oleh malpraktik perdata dengan malpraktik pidana.
Kerugian dalam malpraktik perdata lebih luas dari akibat malpraktik pidana.
Akibat malpraktik perdata termasuk perbuatan melawan hukum terdiri atas
kerugian materil dan idiil, bentuk kerugian ini tidak dicantumkan secara khusus
dalam uu. Berbeda dengan akibat malpraktik pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai
dengan akibat yang menjadi unsure pasal tersebut.
Malpraktik
kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materil (yang melarang akibat yang
timbul,dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana). Dalam
hubungannya dengan malpraktik medik pidana, kematian,luka berat, rasa sakit
atau luka yang mendatangkan penyakit atau yang menghambat tugas dan
matapencaharian merupakan unsure tindak pidana.
Jika
dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran maka
ia hanya telah melakukan malpraktik etik. Untuk dapat menuntut penggantian
kerugian karena kelalaian maka penggugat harus dapat membuktikan adanya suatu
kewajibanbagi dokter terhadap pasien, dokter telah melanggar standar
pelayananan medik yang lazim dipergunakan, penggugat telah menderita kerugian
yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Terkadang
penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat. Dalam hukum
dikenal istilah res ipsa loquitur (the things speaks for itself), misalnya
dalam hal terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien sehingga
menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini dokterlah yang harus
membuktikan tidak adanya kelalain pada dirinya.
F.
Asumsi masyarakat terhadap malpraktek
Maraknya malpraktek di indonesia membuat
masyarakat tidak percaya lagi pada pelayanan kesehatan di indonesia. Ironisnya
lagi, pihak kesehatan pun khawatir kalau para tenaga medis indonesia tidak
berani lagi melakukan tindakan medis karena takut berhadapan dengan hukum.
Lagi-lagi hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi yang baik antara
tenaga medis dan pasien. Tidak jarang seorang tenaga medis tidak memberitahukan
sebab dan akibat suatu tindakan medis. Pasien pun enggan berkomunikasi dengan
tenaga medis mengenai penyakitnya. Oleh karena itu, departemen kesehatan perlu
mengadakan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana
kinerja seorang tenaga medis.
Sekarang ini tuntutan professional
terhadap profesi ini makin tinggi. Berita yang menyudutkan serta tudingan bahwa
dokter telah melakukan kesalahan dibidang medis bermunculan.
Di negara-negara maju yang lebih dulu
mengenal istilah makpraktek medis ini ternyata tuntutan terhadap tenaga medis
yang melakukan ketidaklayakan dalam praktek juga tidak surut. Biasanya yang
menjadi sasaran terbesar adalah dokter spesialis bedah (ortopedi, plastic dan
syaraf), spesialis anestesi serta spesialis kebidanan dan penyakit kandungan.
Di indonesia, fenomena ketidakpuasan
pasien pada kinerja tenaga medis juga berkembang. Pada awal januari tahun 2007
publik dikejutkan oleh demontrasi yang dilakukan oleh para korban dugaan
malpraktik medis ke polda metro jaya dengan tuntutan agar polisi dapat mengusut
terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malpraktek yang pernah dilaporkan
masyarakat.
Tuntutan yang demikian dari masyarakat
dapat dipahami mengingat sangat sedikit jumlah kasus malpraktik medik yang
diselesaikan di pengadilan. Apakah secara hukum perdata, hukum pidana atau
dengan hukum administrasi. Padahal media massa nasional juga daerah
berkali-kali melaporkan adanya dugaan malpraktik medik yang dilakukan dokter
tapi sering tidak berujung pada peyelesaian melalui sistem peradilan.
Salah satu dampak adanya malpraktek pada
zaman sekarang ini (globalisasi)
saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk-produk asing maupun tenaga kerja asing ke indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring mesuknya jaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang canggih.
saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk-produk asing maupun tenaga kerja asing ke indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring mesuknya jaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang canggih.
Hal ini memberikan peluang keberhasilan
yang lebih besar dalam kesembuhan pasien. Akan tetapi, banyak juga kerugian
yang ditimbulkan. Masuknya peralatan canggih tersebut memerlukan sumber daya
manusia yang dapat mengoperasikannya serta memperbaikinya kalau rusak. Yang
menjadi sorotan disini adalah dalam hal pengoperasiannya.
Coba kita analogikan terlebih dahulu,
dengan masuknya peralatan-peralatan canggih tersebut, maka mutu pelayanan
kesehatan harus ditingkatkan. Namun, yang terjadi saat ini adalah banyak tenaga
medis yang melakukan kesalahan dalam pengoperasian peralatan canggih tersebut
sehingga menimbulkan malpraktek. Jelas sekali bahwa ketergantungan pada
peralatan pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan kesehatan. Untuk
menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malpraktek, perlu adanya
penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai masalah ini.
Kemudian, perlu adanya penyesuaian
kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi. Satu hal yang lebih penting
lagi adalah perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar
dan belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan peralatan
canggih ini demi mencegah terjadinya malpraktek. Hal ini dapat direalisasikan
dengan adanya penyuluhan yang disebutkan tadi. Selain pembahasan dari sisi
peralatan tadi, juga perlu dipikirkan masalah eksistensi dokter indonesia dalam
menghadapi globalisasi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, di jaman
globalisasi ini memberikan pintu terbuka bagi tenaga kesehatan asing untuk
masuk ke indonesia, begitu pula tenaga kesehatan indonesia dapat bekerja diluar
negeri dengan mudah. Namun, apabila tidak ada tindakan untuk mempersiapkan hal
ini, dapat menimbulkan kerugian bagi tenaga kesehatan kita. Bayangkan saja,
tidak menutup kemungkinan apabila seorang tenaga medis yang kurang
mempersiapkan dirinya untuk berkiprah di negeri orang, dikarenakan ilmunya yang
masih minim serta perbedaan kurikulum di negeri yang ia tempati, terjadilah
malpraktek.
Hal ini tidak saja mencoreng nama baik
tenaga edis tersebut tersebut, tetapi juga nama baik dunia kesehatan indonesia.
Yang jelas, kami sangat berharap akan peran dari pemerintah pada umumnya dan
peran dari departemen kesehatan pada khususnya untuk mempersiapkan tenaga
kesehatan indonesia dalam menghadapi era globalisasi saat ini.
G.
Upaya pencegahan malpraktik dalam
pelayanan kesehatan
1.
Upaya pencegahan malpraktek dalam
pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat
tenaga bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan
tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a.
Tidak menjanjikan atau memberi garansi
akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning
verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b.
Sebelum melakukan intervensi agar selalu
dilakukan informed consent.
c.
Mencatat semua tindakan yang dilakukan
dalam rekam medis.
d.
Apabila terjadi keragu-raguan,
konsultasikan kepada senior atau dokter.
e.
Memperlakukan pasien secara manusiawi
dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f.
Menjalin komunikasi yang baik dengan
pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
2.
Upaya menghadapi tuntutan hokum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien
tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga bidan
seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif
membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal
malpractice, maka tenaga bidan dapat melakukan :
a.
Informal defence, dengan mengajukan bukti
untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau
tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti
bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of
treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin
(men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b.
Formal/legal defence, yakni melakukan
pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni
dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban
atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban,
dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara
mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum,
sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk
membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak
diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi
untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of
duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan
adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah
orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga
kebidanan.
Di
indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada
peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:
1.
Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani
berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya.
Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan
pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2.
Semua tindakan medis (diagnostic,
terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun
tertulis.
3.
Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko
cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani
pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang
perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
4.
Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam
butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
5.
Informasi tentang tindakan medis harus
diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan
informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut
dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat
memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan
informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang
bidan/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
6.
Isi informasi mencakup keuntungan dan
kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun
paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara
tertulis (berkaitan dengan informed consent).
H.
Malpraktek Dalam
Perspektif Hukum Islam
Kasus
dugaan Malpraktek merupakan akibat yang timbul dalam sengketa antara dokter
dengan pasien/sengketa medik, yang mana pasien melakukan tuntutan/ gugatan
kepada dokter yang mengobatinya karena merasa dirugikan. Kerugian yang dialami
pasien berupa cidera atau cacat permanen bahkan kematian, hal tersebut diduga
sebagai akibat tindakan dokter dan atau rumah sakit yang telah berlaku lalai.
Kerugian yang diderita pasien disebabkan oleh adanya kelalaian/kesalahan dari dokter
yang sering disebut dengan Malpraktek Medik.[3]
Sebagai
salah satu contoh, yaitu akibat kesalahahan yang dilakukan oleh dokter di Rumah
Sakit Ciremai di Cirebon, yang menyebabkan Ny. Muzayanah meninggal dunia. Hal
ini disebabkan karena dokter salah dalam melakukan transfusi darah. Sehingga
kasus ini dikategorikan ke dalam kasus Malpraktek.[4]
Dari
contoh kasus di atas, yang diduga sebagai Malpraktek. Di sini kami dari
Kelompok 1 (Satu) perlu untuk memberikan definisi tentang Malpraktek dari
berbagai sudut pandang.
Mengenai
Malpraktek, terdapat berbagai batasan yang dapat ditelusuri. Secara leksikal,
Malpraktek merupakan frase dari dua kata yaitu “Mala” dan “Praktek”. Mala dapat
berarti:
1.
Kotor, cemar,
noda, penyakit.
2.
Tanda larangan
yang mempunyai kekuatan magis (di Timor).
3.
Buruk, tidak
normal. Contoh: Malapraktek (praktek yag buruk), Malagizi (gizi yang tidak
baik).[5]
Sedangkan kata praktek mempunyai arti,
yaitu:
1.
Pelaksanaan secara
nyata apa yang disebutkan dalam teori.
2.
Pelaksanaan pekerjaan.
3.
Perbuatan melakukan
teori.
Agar diperoleh gambaran yang lebih jelas
mengenai batasan Malpraktek Medik menurut Black, maka akan diuraikan
unsur-unsur yang ada pada istilah terminologi tersebut. Malpraktek secara
harfiah berarti “bad practice”, praktek yang jelek atau praktek buruk. Hal ini
berkaitan dengan bagaimana praktek pelaksanaan ilmu dan teknologi medik itu.
Singkatnya mengenai praktek penerapan ilmu dan teknologi kedokteran, praktek
profesi medik dan profesi tersebut mengandung ciri-ciri khusus.
Bila hal ini dikaitkan dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka ketentuan pasal 50
ayat (1) menyebutkan bahwa tenaga kesehatan menyelenggarakan/melakukan kegiatan
kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan
yang bersangkutan.
Ketentuan pasal 50 ayat (1) dikaitkan
dengan pasal 56 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan pasal 29
ayat (23) UU tentang Praktik Kedokteran serta dikaitkan dengan istilah
(terminologi), istilah Malpractice yang secara harfiah diterjemahkan dengan
“Bad practice” adalah sarat dengan permasalahan “how to practice the medical
science and technology”. Ini sangat erat hubungannya dengan sarana kesehatan
yaitu konkretnya melakukan praktek, subyek atau orang yang melaksanakan
praktek, dapat juga meliputi instansi medis. Hal tersebut tidak terlepas dari
ciri-ciri profesi yang melaksanakan praktek pelaksanaan profesi ilmu dan
teknologi medik tersebut. lebih jelasnya menyangkut ijin praktek itu sendiri.
Ini berarti ketentuan pasal 50 ayat (1) itu dalam pelaksanaannya tidak mungkin
terlepas dari etik profesi medik yang diatur dalam KODEKI dan lafal sumpah
dokter yang diatur dalam PP No. 26 Tahun 1960. Demikian permasalahannya
mencakup etik dan hukum.
Sedangkan Prof. Hermein Hadiati
Koeswadji, S.H., memilih istilah maltreatmen sebagai istilah yang lebih dekat
pada pengertian kesalahan/kelalaian dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan, karena menurut Prof. Hermein Hadiati Koeswadji, S.H bahwa
maltreatment secara harfiah diterjemahkan dengan “bad treatment “, atau “wrong
or skillfull treatment”. Dalam hal ini ada 2 (dua) pihak, yaitu di satu pihak
subyek yang melaksanakan “treatment” dan di lain pihak obyek/subyek yang
menjadi sasaran “treatment”. Sehingga permasalahannya menjadi “how to treat the
patient” yaitu bagaimana dokter memperlakukan (dalam arti mengupayakan
kesembuhan) pasiennya.
Mr. L.D Vorstman yang merumuskan
Malpraktek Medik atas pendapat Prof. Hector Treub dan juga atas perumusan
Komisi Aanprakelijkheid dari KNMG (IDI-nya Belanda), yaitu: “Seorang dokter
melakukan kesalahan profesi jika ia tidak melakukan pemeriksaan, tidak
mendiagnosa, tidak melakukan sesuatu atau tidak membiarkan sesuatu yang oleh
dokter yang baik pada umumnya dan dengan situasi kondisi yang sama, akan
melakukan pemeriksaan dan diagnosa serta melakukan atau membiarkan sesuatu
tersebut.”
Para dokter dianggap melakukan suatu
kesalahan profesi (Malpraktek, beroesfout) apabila dalam menjalankan profesinya
tidak memenuhi Standar Profesi Kedokteran, hal ini disebut juga “Kuntfout”.
Sedangkan Standar Profesi Kedokteran
menurut rumusan Leenen adalah sebagai berikut:
1.
Berbuat secara
teliti/seksama (Zorvuildig handelen) dikaitkan dengan culpa/kelalaian. Bila
seorang dokter yang bertindak “onvoorzichteh,” tidak teliti, tidak
berhati-hati, maka ia memenuhi unsur kelalaian; bila ia sangat tidak hati-hati
ia memenuhi culpa lata.
2.
Sesuai ukuran
ilmu medik (volgens de medische standaard).
3.
Kemampuan
rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medik yang sama (gemiddelde
bewaamheid van gelijke medische categorie).
4.
Situasi dan
kondisi yang sama (gelijke omstandigheden).
5.
Sarana upaya
(middelen) yang sebanding/proporsional (azas proporsionalitas). (met middelen
die in redelijke verhouding staan) dengan tujuan konkret tindakan/perbuatan
tersebut (tot het concreet handelingsdoel). Di Belanda apabila ada dugaan
Malpraktek yang dilakukan oleh dokter maka kelima unsur dari standar ini harus
dipakai untuk menguji apakah suatu perbuatan medik merupakan Malpraktek atau
tidak, hal tersebut juga dilakukan oleh Hakim di Indonesia dalam menangani
kasus dugaan Malpraktek selama ini.
Dalam Hukum kedokteran dikenal adanya 4
(empat) unsur Malpraktek medik, yaitu:
1.
Adanya duty
(kewajiban) yang harus dilaksanakan;
2.
Adanya
dereliction of that duty (penyimpangan kewajiban);
3.
Terjadinya
damage (kerugian);
4.
Terbuktinya
direct causal relationship (berkaitan langsung) antara pelanggaran kewajiban
dengan kerugian.
Apabila ada dugaan Malpraktek maka harus
dapat dibuktikan adanya keempat unsur di atas yang dilakukan dokter dalam
menangani pasien. Dalam pembuktian itu dipakai lima unsur standar profesi
kedokteran yang dirumuskan Leenen.
Dari beberapa pengertian Malpraktek di
atas, bahwa kerugian yang dialami seorang pasien baik berupa cacat tubuh atau
bahkan kematian adalah diakibatkan oleh perbuatan seorang dokter yang
mengandung unsur kesalahan/kelalaian dengan dibuktikan oleh keempat unsur
sebagaimana dijelaskan di atas.
Dalam Hukum Islam (fiqh) perbuatan yang
mengakibatkan kepada kematian atau cacat tubuh/pelukaan terhadap anggota tubuh,
akan tetapi perbuatan tersebut karena faktor kesalahan atau ketidak sengajaan
pelakunya, dalam Hukum Pidana Islam (fiqh jinayat) adalah termasuk ke dalam
Jinayah Khoto’, yaitu Qotl al-Koto’ (pembunuhan karena kesalahan) dan pelukaan
karena kesalahan. Dengan demikian dampak hukum kedua jarimah ini adalah berupa
Diyat dan Kafarat
Dalam hukum Pidana Islam, yang termasuk
dalam Jarimah Diyat dan Kafarat adalah:
1.
Pembunuhan
dengan sengaja yang mendapatkan pemaafan dari keluarga korban,
2.
Pembunuhan semi
sengaja,
3.
Pembunuhan karena
kesalahan.
4.
Menyebabkan orang
luka karena kelapaan (kesalahan).[6]
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan tindak pidana
pembunuhan karen kesalahan antara lain Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 92 dan 93:
$tBur c%x. ?`ÏB÷sßJÏ9 br& @çFø)t $·ZÏB÷sãB wÎ) $\«sÜyz 4 `tBur @tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ãÌóstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB ×ptÏur îpyJ¯=|¡B #n<Î) ÿ¾Ï&Î#÷dr& HwÎ) br& (#qè%£¢Át 4 bÎ*sù c%x. `ÏB BQöqs% 5irßtã öNä3©9 uqèdur ÑÆÏB÷sãB ãÌóstGsù 7pt6s%u 7poYÏB÷sB ( bÎ)ur c%2 `ÏB ¤Qöqs% öNà6oY÷t/ OßgoY÷t/ur ×,»sVÏiB ×ptÏsù îpyJ¯=|¡B #n<Î) ¾Ï&Î#÷dr& ãÌøtrBur 7pt6s%u 7poYÏB÷sB ( `yJsù öN©9 ôÉft ãP$uÅÁsù Èûøïtôgx© Èû÷üyèÎ/$tFtFãB Zpt/öqs? z`ÏiB «!$# 3 c%x.ur ª!$# $¸JÎ=tã $VJÅ6ym ÇÒËÈ `tBur ö@çFø)t $YYÏB÷sãB #YÏdJyètGB ¼çnät!#tyfsù ÞO¨Yygy_ #V$Î#»yz $pkÏù |=ÅÒxîur ª!$# Ïmøn=tã ¼çmuZyès9ur £tãr&ur ¼çms9 $¹/#xtã $VJÏàtã ÇÒÌÈ
$tBur c%x. ?`ÏB÷sßJÏ9 br& @çFø)t $·ZÏB÷sãB wÎ) $\«sÜyz 4 `tBur @tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ãÌóstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB ×ptÏur îpyJ¯=|¡B #n<Î) ÿ¾Ï&Î#÷dr& HwÎ) br& (#qè%£¢Át 4 bÎ*sù c%x. `ÏB BQöqs% 5irßtã öNä3©9 uqèdur ÑÆÏB÷sãB ãÌóstGsù 7pt6s%u 7poYÏB÷sB ( bÎ)ur c%2 `ÏB ¤Qöqs% öNà6oY÷t/ OßgoY÷t/ur ×,»sVÏiB ×ptÏsù îpyJ¯=|¡B #n<Î) ¾Ï&Î#÷dr& ãÌøtrBur 7pt6s%u 7poYÏB÷sB ( `yJsù öN©9 ôÉft ãP$uÅÁsù Èûøïtôgx© Èû÷üyèÎ/$tFtFãB Zpt/öqs? z`ÏiB «!$# 3 c%x.ur ª!$# $¸JÎ=tã $VJÅ6ym ÇÒËÈ `tBur ö@çFø)t $YYÏB÷sãB #YÏdJyètGB ¼çnät!#tyfsù ÞO¨Yygy_ #V$Î#»yz $pkÏù |=ÅÒxîur ª!$# Ïmøn=tã ¼çmuZyès9ur £tãr&ur ¼çms9 $¹/#xtã $VJÏàtã ÇÒÌÈ
Artinya
: 92. dan tidak layak bagi seorang mukmin
membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak
sengaja)[334], dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat[335]
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah[336]. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir)
yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si
pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya[337], Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.
93. dan Barangsiapa
yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam,
kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar baginya. [334] Seperti: menembak burung terkena
seorang mukmin. [335] Diat ialah pembayaran sejumlah harta karena sesuatu
tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan. [336] Bersedekah di
sini Maksudnya: membebaskan si pembunuh dari pembayaran diat. [337] Maksudnya:
tidak mempunyai hamba; tidak memperoleh hamba sahaya yang beriman atau tidak
mampu membelinya untuk dimerdekakan. menurut sebagian ahli tafsir, puasa dua
bulan berturut-turut itu adalah sebagai ganti dari pembayaran diat dan
memerdekakan hamba sahaya.[7]
Dalam jarimah pembunuhan karena
kesalahan terdapat unsur-unsur yang dapat membedakan dengan jarimah yang
lainnya. Unsur-unsur tersebut yaitu:
1.
Adanya perbuatan
yang menyebabkan kematian.
2.
Terjadinya perbuatan
itu karena kesalahan, dan
3.
Adanya hubungan
sebab akibat antara perbuatan kesalahan dan kematian korban.[8]
Azas legalitas pada pembunuhan tidak
sengaja yaitu surat an-Nisa ayat 92 dan Hadits Rasulullah saw. yang
diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud yang berbunyi:
فِى دِيَةِ الْخَطَاءِ عِشْرُوْنَ حِقَّةً وَعِشْرُوْنَ جَذَعَةً وَعِشْرُوْنَ بِنْتَ مَخَاضٍ وَعِشْرُوْنَ بِنْتَ لَبُوْنِ وَعِشْرُوْنَ بَنُوْ مَخَاضٍ ( رواه الترميذى)
فِى دِيَةِ الْخَطَاءِ عِشْرُوْنَ حِقَّةً وَعِشْرُوْنَ جَذَعَةً وَعِشْرُوْنَ بِنْتَ مَخَاضٍ وَعِشْرُوْنَ بِنْتَ لَبُوْنِ وَعِشْرُوْنَ بَنُوْ مَخَاضٍ ( رواه الترميذى)
Artinya: “Rasulullah saw. bersabda: ‘Pada diyat pembunuhan karena kekeliruan
adalah dua puluh unta hiqqoh, dua puluh unta Jadza’ah, dua puluh unta binti
makhadl, dua puluh unta binti labun dan dua puluh unta banu makhadl”. (H.R.
Tirmidzi).[9]
Berdasarkan ayat dan hadits Nabi di atas
maka sanksi pokok pembunuhan karena tersalah adalah diyat dan kafarat.
Sedangkan hukuman penggantinya adalah puasa dan ta’zir, dan hukuman tambahannya
adalah hilangnya hak waris dan hak mendapat wasiat.
I.
Malpraktek
menurut hukum di Indonesia
Menurut UU RI
No. 23 Tahun 1992[10]
Pasal
15
1.
Dalam keadaan
darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya,
dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
2.
Tindakan medis
tertentu, sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan:
a.
Berdasarkan
indikasi medis yangmengharuskan diambilnya tindakan tersebut.
b.
Oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai
dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli.
c.
Dengan
persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya.
d.
Pada sarana
kesehatan tertentu.
Pasal 32
4.
Pelaksanaan pengobatan dan atau
perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Pasal
34
1. Transplantasi
organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan
tertentu.
Pasal 35
1. Transfusi
darah hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu.
Pasal 36
1.
Implan obat dan
atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di
sarana kesehatan tertentu.
Pasal 37
1.
Bedah plastik
dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.
Pasal 53
1.
Tenaga kesehatan berhak memperoleh
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
2.
Tenaga kesehatan dalam melakukan
tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak
pasien.
Pasal 70
1. Dalam
melaksanakan penelitian dan pengembangan dapat dilakukan bedah mayat untuk
penyelidikan sebab penyakit dan atau sebab kematian serta pendidikan tenaga
kesehatan.
2. Bedah
mayat hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu dan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam
masyarakat.
Menurut
UU RI No. 29 Tahun 2004
Pasal 29
1. Setiap
dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib
memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.
Pasal 36
Setiap dokter dan
dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat
izin praktik.
Pasal 41
1. Dokter
atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan menyelenggarakan
praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 wajib memasang papan
nama praktik kedokteran.
Pasal 45
1. Setiap
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
Pasal 46
1. Setiap
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat
rekam medis.
Pasal 48
1. Setiap
dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan
rahasia kedokteran.
Pasal 50
Dokter atau dokter gigi
dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak:
a. Memperoleh
perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional.
b. Memberikan
pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional.
c. Memperoleh
informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.
d. Menerima
imbalan jasa.
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi
dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban:
a. Memberikan
pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional
serta kebutuhan medis pasien.
b. Merujuk
pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan
yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.
c. Merahasiakan
segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia.
d. Melakukan
pertolongan darurat atau dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang
lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
e. Menambah
ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran
gigi.
Pasal
52
Pasien
dalammenerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a.
Mendapatkan
penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat 3.
b.
Meminta pendapat
dokter atau dokter gigi lain.
c.
Mendapatkan
pelayanan sesuai dengan kebutuhanmedis.
d.
Menolak tindakan
medis.
e.
Mendapatkan isi
rekammedis.
Pasal
53
Pasien
dalammenerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban:
a.
Memberikan
informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya.
b.
Mematuhi nasihat
dan petunjuk dokter atau dokter gigi.
c.
Mematuhi
ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan.
d.
Memberikan
imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
SANKSI
PIDANA
KUHP 359
Barangsiapa karena
salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun
atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
KUHP 360
1. Barangsiapa
karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selam-lamanya satu tahun.
2. Barangsiapa
karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu
menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya
sementara, dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya sembilan bulan atau
hukuman kurungan selamalamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya
Rp.4500,-
KUHP 361
Jika kejahatan yang diterangkan dalam
bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka hukuman
dapat ditambah dengan sepertiganya dan sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya,
dalam waktu mana kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya
itu diumumkan.
UU
RI No. 23 Tahun 1992
Pasal
80
1.
Barangsiapa dengan sengaja melakukan tindakan
medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat 1 dan ayat 2, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,-
(lima puluh juta rupiah)
Pasal 81
1. Barangsiapa
yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja:
a. Melakukan
transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat 1.
b. Melakukan
implan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat 1.
c. Melakukan
bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat 1. Dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling
banyak Rp.140.000.000,- (seratus empat puluh juta rupiah).
Pasal 82
1. Barangsiapa
yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja:
a. Melakukan
pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 4.
b. Melakukan
transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat 1.
c. Melakukan
implan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat 1.
d. Melakukan
pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat 1.
e. Melakukan
bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat 2. Dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,-
(seratus juta rupiah).
UU
RI No. 29 Tahun 2004
Pasal 75
1. Setiap
dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 1 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Pasal 76
Setiap dokter atau
dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki
surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,-
(seratus juta rupiah)
Pasal 79
Dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:
a. Dengan
sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat 1.
b. Dengan
sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat 1.
c. Dengan
sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
SANKSI
PERDATA
KUH Perdata 1366
Setiap orang
bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena perbuatannya,
tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.
KUH Perdata 1367
Mengatur tentang
kewajiban pemimpin atau majikan untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh kelalaian
yang dilakukan oleh anak buah atau
bawahannya.
KUH Perdata 1370
Dalam hal pembunuhan
(menyebabkan matinya orang lain) dengan sengaja atau kurang hati-hatinya
seseorang, maka suami dan istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua korban
yang biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban, mempunyai hak untuk
menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukannya dan kekayaan
kedua belah pihak serta menurut keadaan.
KUH Perdata 1371
Penyebab luka atau
cacatnya suatu anggota badan dengan sengaja atau kurang hati-hati, memberikan
hak kepada korban, selain penggantian biaya-biaya penyembuhan, juga menuntut penggantian
kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut.
UU
RI No. 23 Tahun 1992
Pasal 55
1. Setiap
orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan.
2. Ganti
rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 80 (lihat sanksi
pidana)
Pasal 81 (lihat sanksi
pidana)
Pasal 82 (lihat sanksi
pidana)
UU
RI No.29 Tahun 2004
Pasal 75 (lihat sanksi
pidana)
Pasal 76 (lihat sanksi
pidana)
Pasal 79 (lihat sanksi
pidana)
SANKSI
ADMINISTRATIP
UU
RI No. 29 Tahun 2004
Pasal 66
1. Setiap
orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau
dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara
tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
2. Pengaduan
sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Identitas
pengadu
b. Nama
dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan.
c. Alasan
pengaduan.
3. Pengaduan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghilangkan hak setiap orang
untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan
atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
Pasal 67
Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan
yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi.
Pasal
69
1. Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia.
2.
Keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau
pemberian sanksi disiplin.
3.
Sanksi disiplin
sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dapat berupa:
a.
Pemberian
peringatan tertulis.
b.
Rekomendasi
pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik.
c.
Kewajiban
mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi.
PERMENKES
RI No.1419/MENKES/PER/X/2005
Pasal 24
1. Menteri,
Konsil Kedokteran Indonesia, Pemerintah Daerah, dan organisasi profesi melakukan
pembinaan dan pengawasan pelaksanaan peraturan ini sesuai dengan fungsi, tugas
dan wewenang masing-masing.
2. Pembinaan
dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diarahkan pada pemerataan dan peningkatan
mutu pelayanan yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi.
Pasal 25
1. Dalam
rangka pembinaan dan pengawasan Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dapat mengambil
tindakan administratip terhadap pelanggaran peraturan ini.
2. Sanksi
administratip sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat berupa peringatan lisan,
tertulis sampai pencabutan SIP.
3. Dinas
Kesehatan Kabupaten / Kota dalam memberikan sanksi administratip sebagaimana dimaksud
ayat 2 terlebih dahulu dapat mendengar pertimbangan organisasi profesi.
Pasal 26
Dinas Kesehatan
Kabupaten / Kota dapat mencabut SIP dokter dan dokter gigi:
1. Atas
dasar keputusan MKDKI
2. STR
dokter atau dokter dicabut oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
3. Melakukan
tindak pidana.
Pasal 27
1. Pencabutan
SIP yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota wajib disampaikan kepada
dokter dan dokter gigi yang bersangkutan dalam waktu selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari terhitung sejak tanggal keputusan ditetapkan.
2. Dalam
hal keputusan dimaksud pada ayat 1 tidak dapat diterima, yang bersangkutan dapat
mengajukan keberatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi untuk diteruskan
kepada Menteri Kesehatan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah keputusan diterima.
3. Menteri
setelah menerima keputusan sebagaimana dimaksud ayat 2 meneruskan kepada
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia paling lambat 14 (empat belas)
hari.
Pasal 28
Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten / Kota melaporkan setiap pencabutan SIP dokter dan dokter gigi kepada
Menteri Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia dan Dinas Kesehatan Provinsi,
serta tembusannya disampaikan kepada organisasi profesi setempat.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian
diatas mengenai Malpraktek merupakan gambarang awal tentang dasar-daras resiko
yang harus dihindari oleh petugas kesehatan, dalam pembahasan kami dari
kelompok I (satu) dimana malpraktek atau malpraktic terjadi kerena kesalahan
standar prosedur operasional sehingga pasien atau klien disini mengalami kerugian
yang membuatnya terluka, bahkan meninggal dunia.
Kami dari
kelompok 1 (satu), menyimpulkan bahwasanya untuk meminimalisir terjadinya
malpraktik dikemudian hari bagi pembaca kita seharusnya melai sekarang untuk
belajar lebih tekun dan memahami dengan saksama prosedur dan mata ajar yang
diberikan dibanku kuliah, selain itu kita harus mempu membedakan antara
wewenang kita. dan mana tugas kita, terkhusus dalam keperawatan.
B.
Saran
Kami dari kelompok
1 (satu) menyadari bahwasanya dalam pembahasan kami ini belum mencangkup
keseluruhan materi, muda-mudahan materi kami ini mampu memberikan gambaran
pemahaman mengenai malpraktek, dan kiranya pembaca terkhusus dibidang kesehatan
mampu meminimalisir terjadinya malpraktek.
Terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
http://Wikipedia.malpaktik.com
( Diakses pada 19 Oktober 2013. Jam 08.00 PM )
M. Dachlan. Y
Al-Barry, Yustina Akmalia, S.Kp, A. Rahman Usman ; Kamus Istilah Medis, 2000.
Safitri Hariyani, Sengketa Medik, (Jakarta: Diadit
Media, 2004), hlm. 58
Jazuli, Asep Saefuddin, “Duka Akibat Malpraktik”,
Blakasauta, 2004, (Edisi 05): hlm. 04
DepDikBud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1991), Edisi Kedua, hlm. 620
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (
Jakarta, Gema Insani., 2003), hlm. 34
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahn, (Jakarta,
CV.Indah Press, 2002), hlm. 135
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (
Jakarta, Gema Insani., 2003), hlm. 37
Ahmad Hanafi, Loc. Cit, hlm. 66
Jurnal kesehatan.
teori sebab akibat dan aplikasinya pada bidang kajian agama & kesehatan.
selamat riyadi. 2012
PPT : malpraktek medic oleh sudjari solichin bagian
/ instalasi ilmu kedokteran forensic dan medikolegal fk. unair – rsu.dr.soetomo
Surabaya
http://menkes.peraturan-malpraktek-0782t32238672.com ( Diakses pada 19 Oktober 2013. Jam 08.00 PM
)
[2] M. Dachlan. Y Al-Barry, Yustina Akmalia, S.Kp, A. Rahman
Usman ; Kamus Istilah Medis, 2000.
[3] Safitri
Hariyani, Sengketa Medik, (Jakarta: Diadit Media, 2004), hlm. 58
[4] Jazuli,
Asep Saefuddin, “Duka Akibat Malpraktik”, Blakasauta, 2004, (Edisi 05): hlm. 04
[5] DepDikBud,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), Edisi Kedua, hlm.
620
[6] Topo
Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Gema Insani., 2003), hlm. 34
[7] Departemen
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahn, (Jakarta, CV.Indah Press, 2002), hlm. 135
[8]
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (
Jakarta, Gema Insani., 2003), hlm. 37
[9] Ahmad
Hanafi, Loc. Cit, hlm. 66